Selasa, 18 November 2008

BAHAYA NUKLIR

iPetani Akhirnya Tahu Bahaya Nuklir




JEPARA – Supriyati (34 tahun) rela berdesak-desakan berjalan kaki sepanjang satu kilometer sambil menggendong anaknya. Bukan hanya perempuan itu yang melakukan hal tersebut, puluhan perempuan lain juga dengan yakin mengayunkan kaki sambil menggendong anak-anak mereka. “Kami menuntut agar pemerintah tidak membangun PLTN di sini. PLTN berbahaya bagi kami,” kata Supriyati dengan yakin.
Kata-kata serupa juga meluncur begitu saja dari mulut Sumiyati (46), Ngatemi (60), maupun Samsiyah (45). Para ibu setengah baya dan nenek yang hanya lulusan SD ini ikut terlibat dalam unjuk rasa menyegel kantor penelitian Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di tepi jalan di antara ladang tebu di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, di Semenanjung Muria Pulau Jawa, atau sekitar 110 km di sisi timur laut Semarang, pekan lalu. Untuk mencapai desa itu, mereka harus menembus hutan karet lewat jalan beraspal yang tidak mulus lagi.
Mereka bergabung dengan ribuan warga Balong yang dikomandoi oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta seperti dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Islam Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Mereka menamakan diri Koalisi Rakyat dan Mahasiswa Tolak PLTN.
“Yang penting bagi kami adalah hidup ayem tentrem (damai dan tenteram). Apa itu arti nuklir bila membuat hidup kami sengsara? Makan daun singkong pun tetap terasa nikmat tanpa harus membangun nuklir di sini,” ujar Sumiyati.
Kata-kata PLTN begitu mudah meluncur dari mulut orang-orang desa yang bekerja sebagai petani ladang singkong, tebu, maupun penyadap karet. Mereka hafal di luar kepala tentang kependekan dari kata PLTN-Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Mereka juga hafal cara pemelesetan PLTN itu menjadi “Pembangkit Listrik Taruhan Nyawa”. Justru kata-kata terakhir ini yang sering mereka teriakkan dan mereka pajang dalam spanduk yang diikatkan di antara dua pohon di jalan kampung mereka.

Satu kata dari warga Balong adalah: Tolak PLTN! Salah satu poster yang dibawa anak-anak bertuliskan “Gemah Ripah Loh Jinawi Tanpa PLTN” (Makmur Subur Sejahtera Tanpa PLTN).

Rencana yang Dipaksakan
Warga desa itu menjadi pandai setelah reformasi bergulir. Rencana pembangunan PLTN sudah berlangsung sekitar tahun 1980-an ketika rezim Soeharto berkuasa. Pada zaman Orde Baru, tidak ada kata menolak dari rakyat bila pemerintah menggulirkan rencana atas nama pembangunan.
Bahaya radiasi nuklir tidak pernah dijelaskan kepada rakyat. Pemerintah justru gembar-gembor tentang manfaat positif dari tenaga nuklir, salah satunya adalah untuk memasok listrik. Maklum saja, Indonesia memang masih kekurangan tenaga listrik.
Di Ujung Lemah Abang di Semenanjung Muria, ya termasuk kawasan Balong itulah, nantinya akan dibangun empat reaktor nuklir (PLTN Muria) agar bisa menghasilkan listrik 4.000 Megawatt. Rencana itu seolah tenggelam ketika reformasi bergulir. Namun sejak dua tahun terakhir, pemerintah kembali mengangkat recana tersebut.
Ternyata rakyat kini semakin pintar, dan mahasiswa yang peduli lingkungan pun punya nurani. “Kami selama dua minggu bergabung dengan warga di sini untuk menjelaskan soal bahaya nuklir,” kata Darul Hasyimfath dari Fakultas Filsafat UGM.
Gerilya para aktivis dan mahasiswa untuk memberi “pencerahan” kepada warga Balong sudah dilakukan sejak lama. Perlahan namun pasti, rakyat Balong menjadi pandai bicara soal bahaya nuklir. Hasilnya, mereka tidak mau dibodohi. Mereka menolak pendirian PLTN di kawasan itu.
Ketika para politisi dari DPR maupun DPRD dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan beberapa lainnya ikut bergabung dengan warga, para aktivis dan rakyat langsung menyambut dengan antusias. Lalu, mereka menggiring para politisi itu untuk ikut menolak PLTN.
“Kami tidak ingin ada politisi yang menjadi pahlawan kesiangan di sini. Mereka bisa saja sekarang bicara menolak PLTN, tapi ketika angin politik bertiup ke arah lain, bisa jadi mereka nanti mendukung pembangunan PLTN,” kata Darul.
Di sisi lain, pihak pemerintah pun juga bergerilya. Mereka merangkul aparat desa. Hasilnya, pihak Batan mampu meyakinkan aparat desa dan mereka kemudian membantu kantor riset di sana pada tahun 1995. Sebuah menara tinggi menjulang di tengah ladang tebu.
Pejabat pemerintah maupun Batan dalam beberapa seminar, diskusi, dan pertemuan dengan masyarakat selalu mengungkapkan bahwa Indonesia kekurangan listrik. Beban kebutuhan listrik pada tahun 2016 di Jawa, Bali dan Madura mencapai 29 gigawatt, lalu tahun 2026 meningkat menjadi 59 gw.
Nah, PLTN Muria itu nanti akan menghasilkan 4.000 megawatt atau bisa memasok 2 persen dari kebutuhan daya listrik di Indonesia tahun 2025. Rencana itu akan diwujudkan pada pembangunan tahap pertama tahun 2016.
Namun, pakar nuklir—mantan pejabat Batan—Iwan Kurniawan dalam beberapa kali seminar menjelaskan bahwa PLTN tetap berbahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Ia tidak bisa menjamin bangsa ini mampu memelihara PLTN. Risiko kebocoran bisa mengakibatkan bencana besar seperti di Chernobyl dan beberapa tempat lainnya yang merenggut ratusan nyawa manusia dan membuat cacat keturunannya.
Ia menjelaskan bila hanya ingin menghasilkan daya listrik 4.000 mw seperti yang akan dihasilkan PLTN, pemerintah bisa membangun pembangkit listik tenaga angin seperti di Jerman. Di sana angin mampu menghasilkan daya 20.622 mw. Itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa dan Bali.
Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz pun mengaku telah meminta pejabat Batan agar mendengarkan aspirasi rakyat Jepara. “Jangan ngotot memaksakan pembangunan PLTN tanpa mendengarkan suara rakyat di sana,” katanya.
Asal tahu saja, pada September 2007, para ulama dari Nahdlatul Ulama yang menggelar pertemuan di Jepara telah sepakat bahwa pembangunan PLTN adalah haram hukumnya. Alasannya jelas, PLTN lebih banyak bahaya daripada manfaatnya. n