Rabu, 12 Agustus 2009

Revitalisasi Tanda Budaya Etnik Di Sumatera Utara

Revitalisasi Tanda Budaya Etnik Di Sumatera Utara


PROVINSI Sumatera Utara dihuni berbagai etnik. Ada etnik asli dan ada pula etnik pendatang. Oleh karena itu, Provinsi Sumatera Utara adalah daerah yang dihuni oleh etnik yang sangat hererogen dan bermacam-macam.

Bahkan, ada yang menggambarkan hal ini dengan ungkapan yang sangat popular yaitu, “Sumatera Utara adalah miniatur Indonesia”. Dengan kata lain, hampir semua etnik yang ada di Indonesia dapat ditemukan di Provinsi Sumatera Utara. Suatu hal yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membina persatuan dan kesatuan sehingga terjalin rasa kebersamaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Etnik asli yang menghuni daerah Provinsi Sumatera Utara ini ada sebelas. Kesebelas etnik asli itu adalah: 1) Batak-Toba; 2) Karo; 3) Simalungun; 4) Angkola; 5) Mandailing; 6) Pakpak/Dairi; 7) Melayu; 8) Nias; 9) Pesisir-Sibolga (Tapanuli Tengah); 10) Lubu; dan 11) Ulu. Kesebelas etnik asli ini mempunyai kebiasaan dan kebudayaannya masing-masing. Adat istiadat, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kekerabatan, dan sistem kemasyarakatan, umpamanya, di antara satu etnik dengan etnik yang lain pada kesebelas etnik ini mempunyai perbedaan dan tentu saja ada persamaannya.

Lalu ada pula perbeda-an yang kecil dan tidak terlalu jelas. Namun, terkadang perbedaan itu sangat besar, mendasar, dan bertolak belakang pula. Jadi, perbedaan-perbedaan itu, terutama untuk masalah-masalah yang mendasar, tentunya dapat menimbulkan bahasa yang tersendiri, bukan lagi merupakan dialek dari bahasa asalnya itu. Kata revitalisasi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris revitalitation.

Menurut Kamus Bahasa Melayu Nusantara (2003:2275) kata revitalisasi berarti ‘perihal (pebuatan) menjadikan vital’. Sedangkan kata vital pula menurut Kamus Bahasa Melayu Nusantara (2003: 3006) berarti ‘sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya); amat penting atau amat diperlukan’. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah ‘usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali’.

Sehingga pengertian revitalisasi tanda budaya etnik di Sumatera Utara adalah usaha-usaha untuk menjadikan tanda budaya etnik di Sumatera Utara itu menjadi penting dan perlu sekali. Maksudnya yang lebih umum adalah usaha-usaha apa saja kiranya yang dapat dilakukan agar tanda budaya etnik di Sumatera itu menjadi penting dan bermanfaat bagi masyarakat Sumatera Utara umumnya.

Revitalisasi Tanda Budaya Etnik

Masyarakat Batak-Toba mempunyai filsafat adat yang penuh dengan ajaran moral dalam menghadapi kehidupan yang berisikan tantangan dan cobaan. Untuk itu, masyarakat Batak-Toba mempergunakan ungkapan yang menunjukkan adanya pemakaian ikon, indeks, atau simbol tertentu.

Salah satu kata yang banyak mengandung makna pada masyarakat Batak-Toba adalah kata ulos. Menurut filosofi masyarakat Batak-Toba ada tiga unsur yang penting untuk dapat mengharungi kehidupan ini dengan aman sentosa yaitu darah, napas, dan panas.

Sedangkan sumber yang memberi panas kepada manusia adalah matahari, api, dan ulos. Khusus tentang ulos, filosofis masyarakat Batak-Toba tergambar dalam ungkapan yang mengatakan, /Sibahen na las na so dung olo mohop/Sialo na ngali, sitenggang ombun manorop/ yang artinya, ’si pemberi panas yang enak, tetapi tidak pernah membakar dan mengalahkan embun dingin yang merendah’.

Oleh karena itu, ulos bagi orang Batak-Toba berfungsi untuk dapat memberikan hawa yang panas demi kesehatan badan dan menyenangkan perasaan sehingga mampu membangkitakan rasa kegembiraan. Dari pengertian ini, muncul kata mangulosi yang bermakna ‘menyelimuti seseorang supaya panas atau tidak kedinginan badannya’. Semuanya ini menunjukkan lambang, berupa simbol yang amat sesuai dengan adat istiadat Batak-Toba.

Masyarakat Simalungun mengenal sebuah perumpamaan yang cukup popular untuk menyampaikan pesan yaitu, “Songon sanggar i topi dalan, rap marsidung-dungan.” yang artinya, ‘Seperti rumput sanggar yang di tepi jalan, saling menutupi’. Perumpamanaan Simalungun ini ingin menyampaikan makna semangat kegotongroyongan. Kerja sama dan kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat merupakan aspek yang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Simalungun sampai sekarang ini.

Hal itu dapat dilihat dari perilaku sehari-hari masyarakat Simalungun yang apabila ada kesusahaan atau musibah yang menimpa salah seorang anggota masyarakat, kaum kerabat dan handai tolan yang ada di sekelilingnya akan segara membantu dan memberi pertolongan untuk mengatasi kesusahan atau musibah tersebut. Masalah itulah yang dijadikan topik perumpamaan Simalungun tersebut.

Tumbuh-tumbuhan yang diberi nama “rumput anggar” dalam perumpamaan Simalungun ini menjadi simbol yang menggambarkan bahwa manusia pun seharusnya seperti “rumput sanggar” yang selalu tolong-menolong di antara sesamanya kalau menghadapi kesusahan-kesusahan atau musibah-musibah dan bergotong-royong dalam melakukan tugas yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.

Ada sebuah perumpamaan masyarakat Angkola yang menggambarkan budaya untuk hidup bergotong royong dan saling membantu. Perumpamaan Angkola itu berbunyi, “Songon siala sampagul, rap tu ginjang rap tu toru, muda madabu rap margulu, muda malamun saulak lalu.”

Maksud perumpamaan ini adalah kehidupan ini harus dilalui dengan rukun dan damai, kalau senang sama-sama menikmatinya, dan kalau susah sama-sama menderita. Perumpamaan Angkola ini memakai simbol berupa siala sampagul yang berarti ‘kincung sampagul’.

Sifat “kincung sampagul” ini ialah sama-sama ke atas dan sama-sama ke bawah kalau jatuh sama-sama merasakannya, dan kalau telah masak sekali jalan keseluruhannya, tidak sebagian-sebagian. Penggunaan ungkapan “kincung sampagul” dalam perumpamaan ini memang sangat pantas dan tepat.untuk dijadikan contoh dalam kehidupan manusia.

Kata siala sampagul adalah simbol yang amat cocok bagi setiap orang sebab sebagai makhluk sosial, setiap orang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain, kehidupan manusiada;dalam kelompok etnik harus ditata dengan baik sehingga terbina kerukunan. Harus dibina pula kehidupan bersama dengan berpedoman pada norma kehidupan, tata karma, dan juga adat istiadat.

Masyarakat Pakpak-Dairi mengenal satu perumpamaan yang popular dan amat bermakna. Perumpamaan itu berbunyi, “Bage sukat irubeen.” yang artinya ‘seperti keladi yang tumbuh di pinggir jurang.’ “Keladi” di perumpamaan Pakpak-Dairi ini merupakan simbol gotong royong. “Keladi” yang tumbuh di pinggir jurang biasanya berkembang biak secara bergerombol sehingga walaupun datang banjir, rumpun keladi ini mampu menahan tanah agar tidak runtuh.

Perumpamaan ini merupakan simbol untuk menunjukkan bahwa orang yang suka membantu di antara satu dengan yang lain, terutama saat kesusahan, akan hidup penuh dengan kerukunan dan kedamaian yang tentunya sangat didambakan oleh masyarakat Pakpak-Dairi.

Budaya Melayu mengandung unsur ikon, indeks, dan simbol. Umumnya, gambaran ikon, indeks, dan simbol ini menunjukkan jalan pikiran dan jati diri orang Melayu yang berbudi bahasa serta selalu menghormati raja (pemimpin) dan orang tua.

Raja sebagai pemimpin negeri dalam masyarakat Melayu adalah simbol yang harus dihormati bila berada di jalan yang benar dan akan ditentang apabila. berada di jalan yang salah seperti kata peribahasa,/Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah./ Jadi, raja sebagai simbol penguasa yang menjalankan pemerintahan akan dipatuhi rakyat kalau memerintah dengan adil dan bijaksana. Apalagi mitos bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia masih juga dipercayai oleh masyarakat Melayu.

Masyarakat Nias mengenal perumpamaan yang memakai semut sebagai.simbol. Hal itu tergambar dalam perumpamaan Nias yang berbunyi, “Gegearakho zomenawa, gegewukho zotambu, hafa’usa zisambua, oi fausu ziatu” yang artinya adalah, ‘Bagaikan kumpulan semut, satu mulai menggigit, semut yang lain mengikutinya.’

Perumpamaan ini memakai simbol yaitu semut walaupun makhluk yang kecil, tetapi ada rasa kebersamaan yang kuat dan sikap bergotong royong yang teguh. Gambaran sikap semut yang seperti ini adalah simbol yang menunjukkan bahwa setiap pekerjaan bisa diselesaikan kalau ada kerja sama di antara orang yang mengerjakannya.

Simbol yang mempergunakan semut sebagai binatang kecil yang sangat kuat di dalam nenyelesaikan pekerjaan dengan bergotong royong sebaiknya bisa dijadikan teladan.
Tanda budaya etnik di Sumatera Utara seperti yang sudah diuraikan di atas masih dapat dipergunakan karena masih relevan dan sesuai dengan zamannya.

Namun, ada juga tanda budaya yang berupa ikon, indeks, dan simbol yang harus diperbaiki dan direvisi karena tidak sesuai lagi dengan sikap zaman. Binatang “harimau” yang selalu menjadi simbol keperkasaan, umpamanya, perlu ditinjau lagi karena sekarang ini sudah timbul pandangan negatif terhadap keberadaan dan fungsi “harimau” tersebut. Bahkan, sudah ada pendapat yang menyatakan bahwa “harimau” itu malahan merupakan simbol yang mewakili keganasan serta kebrutalan.

Penutup

Konflik di antara etnik di Sumatera Utara yang menimbulkan perpecahan dapat terjadi melalui ungkapan-ungkapan yang menggambarkan streotipe berbagai etnik dengan nada yang jelek, mengejek, dan terasa merendahkan. Ungkapan-ungkapan seperti, “Mandailing pelit”, “Melayu pemalas”, “Batak-Toba kasar”, dan “Pakpak rendah diri” menggambarkan hal itu.

Untuk itu, perlu adanya kearifan dalam merevitalisasi tanda budaya etnik yang ada di Sumatera Utara ini. Tanda budaya etnik yang negatif sebaiknya dan sudah sepantasnya pula dihindarkan pemakaiannya sedangkan tanda budaya etnik yang positif pula perlu diperkuat sehingga timbul kepercayaan diri yang lebih kokoh pada diri masing-masing etnik di Sumatera Utara.

Tidak ada komentar: